Pengusutan KPK dari penyelidikan terhadap pengadaan kapal menemukan adanya dugaan korupsi, tidak hanya satu, tapi dua sekaligus proyek pengadaan kapal pada dua instansi pemerintah.
"Yakni Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Kementerian Kelautan dan Perikanan," ucap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di kantornya, Selasa (21/5/2019).
Tidak tanggung-tanggung, dua proyek pengadaan kapal dari dua instansi itu, disebut Saut, diduga merugikan keuangan negara lebih dari Rp 179 miliar. Padahal kapal-kapal tersebut digunakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen BC) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk patroli mengamankan wilayah Indonesia.
Saut menyebut perkara korupsi di Ditjen BC terkait dengan pengadaan 16 unit kapal patroli cepat, sedangkan di KKP berkenaan dengan pembangunan 4 unit kapal untuk Sistem Kapal Inspeksi Perikanan Indonesia (SKIPI). Dari 2 perkara itu, KPK menetapkan 4 orang sebagai tersangka dari unsur pemerintah dan swasta.
Kedua kasus itu sampai membuat pimpinan KPK geleng-geleng kepala. Sebab, tujuan pengadaan kapal untuk 2 instansi itu adalah demi kedaulatan wilayah maritim.
"Tujuan awal diadakannya kapal patroli cepat di Ditjen Bea dan Cukai adalah untuk mengamankan wilayah Indonesia. Sedangkan pembangunan Sistem Kapal Inspeksi Perikanan Indonesia atau SKIPI di KKP dilatarbelakangi maraknya praktik illegal fishing," ucap Saut.
Seperti apa rincian 2 perkara itu?
Sebelum membahas tentang konstruksi perkara, diketahui ada 4 tersangka yang telah ditetapkan, yaitu Istadi Prahastanto, Heru Sumarwanto, Aris Rustandi, dan Amir Gunawan. Siapa saja mereka?
Istadi dan Heru merupakan pejabat di lingkungan Ditjen BC. Dalam proyek pengadaan kapal di Ditjen BC, Istadi bertindak sebagai pejabat pembuat komitmen, sedangkan Heru adalah ketua panitia lelang. Sedangkan dalam kasus di KKP, Aris bertindak sebagai pejabat pembuat komitmen. Diketahui pula Aris sebagai mantan Kepala Subdirektorat Pengembangan Infrastruktur Pengawasan KKP.
Lalu dari unsur swasta adalah Amir, yang merupakan Direktur Utama PT Daya Radar Utama (DRU). Perusahaan itu telah malang melintang di dunia galangan kapal. Perusahaan itu pula yang mengerjakan pengadaan kapal bagi 2 instansi tersebut. Dari keempat tersangka itu, hanya Amir yang menyandang status tersangka untuk pengadaan kapal di Ditjen BC dan KKP.
Lalu bagaimana dengan konstruksi kasusnya?
Kasus pertama adalah pengadaan 16 unit kapal patroli cepat atau fast patrol boat (FPB) pada Direktorat Penindakan dan Penyidikan Ditjen BC. Pengadaan kapal itu tercatat pada tahun anggaran 2013-2015.
Awalnya proyek itu diajukan pada November 2012 dari Sekretaris Jenderal Ditjen BC ke Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan. Pengajuan anggaran itu dilakukan lantaran kontrak yang diinginkan menggunakan sistem tahun jamak atau multiyears contract untuk kapal FPB 28 meter, 38 meter, dan 60 meter.
Anggaran pun disetujui sebesar Rp 1,12 triliun untuk tahun jamak 2013-2015. Dalam proses lelang, Istadi diduga memutuskan menggunakan metode pelelangan terbatas untuk kapal FPB 28 meter dan 60 meter serta pelelangan umum untuk kapal FPB 38 meter.
"Pada proses pelelangan terbatas, IPR (Istadi Prahastanto) diduga telah menentukan perusahaan yang dipanggil," kata Saut.
Dari 16 kapal patroli cepat itu, 9 kapal dikerjakan PT DRU yang terdiri atas 5 unit kapal ukuran 28 meter (Kapal BC 20009 sampai BC 20013) dan 4 unit kapal ukuran 38 meter (Kapal BC 30004 sampai BC 30007). Sedangkan 7 kapal lainnya dikerjakan perusahaan lain.
"Selama proses pengadaan, diduga IPR sebagai PPK, dan kawan-kawan diduga menerima 7.000 euro sebagai Sole Agent Mesin yang dipakai oleh 16 kapal patroli cepat," kata Saut.
"Diduga kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari pengadaan 16 kapal patrol cepat ini sekitar Rp 117,7 miliar," imbuh Saut.
Pengadaan kapal SKIPI di KKP dilakukan pada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Tercatat ada 4 unit kapal dengan ukuran 60 meter yang dikerjakan dalam cakupan anggaran 2012-2016.
"Panitia Pengadaan Pembangunan SKIPI Tahap I merencanakan proses lelang dimulai tanggal 5 Desember 2011 dan pemenangnya diumumkan pada 15 Juni 2012," kata Saut.
"Bulan Oktober 2012, Menteri KKP menetapkan PT DRU sebagai pemenang Pekerjaan Pembangunan Kapal SKIPI dengan nilai penawaran Rp 558.531.475.423 atau saat itu setara USD 58.307.789," imbuh Saut.
Proyek itu pun diteken pada Januari 2013. Kemudian, pada Februari 2015, Aris sebagai PPK bersama tim teknis melakukan kegiatan FAT atau Factory Acceptance Test ke Jerman. Pada saat itu, Aris dan tim itu diduga menerima fasilitas dari PT DRU sebesar Rp 300 juta.
Setelahnya, pada April 2016, 4 kapal SKIPI yang diberi nama Orca 01 sampai dengan Orca 04 itu diserahterimakan. Aris sebagai PPK kemudian membayar semua termin pembayaran kepada PT DRU senilai USD 58.307.788 atau setara Rp 744.089.959.059.
"Padahal, diduga biaya pembangunan 4 unit kapal SKIPI hanya Rp 446.267.570.055," kata Saut.
KPK menduga ada sejumlah perbuatan melawan hukum dalam proses pengadaan, baik belum adanya Engineering Estimate, persekongkolan dalam tender, maupun dokumen yang tidak benar. Pun menurut KPK, 4 kapal SKIPI tersebut diduga tidak sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan dan dibutuhkan. Akibatnya, KPK menduga negara dirugikan setidaknya Rp 61.540.127.782.
"Di antaranya kecepatannya yang tidak mencapai syarat yang ditentukan, kekurangan panjang kapal sekitar 26 cm, mark-up volume pelat baja dan aluminium, dan kekurangan perlengkapan kapal lain," ujar Saut.
Lalu bagaimana tanggapan Ditjen BC maupun KKP?
Sebelum mengumumkan tersangka tersebut, KPK sudah menggeledah sejumlah lokasi, yaitu kantor KKP di Gedung Mina Bahari, khususnya di Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan; kantor PT DRU di Tanjung Priok; serta 3 rumah tersangka dan saksi yang berlokasi di Menteng, Grogol, dan Bekasi. Atas penggeledahan itu, Menteri KKP Susi Pudjiastuti sudah angkat bicara.
"Penggeledahan memang tindakan yang perlu dilakukan dalam penegakan hukum oleh KPK karena penggeledahan adalah hak dari KPK sesuai dengan UU KPK. Kami memahami itu sebagai suatu hal yang biasa dan wajar serta legal untuk mendapatkan barang bukti dari dugaan tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, KKP mempersilakan dan kita selalu akan kooperatif bekerja sama dengan KPK untuk memperlancar tugas-tugas KPK," tutur Susi dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/5/2019).
Sedangkan Ditjen BC baru angkat bicara setelah pengumuman tersangka di KPK. Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Bea Cukai Deni Surjantoro mengaku menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada KPK.
"Bea Cukai akan mendukung penuh KPK dalam rangka penegakan hukum. Terkait substansi kasus, Bea Cukai menyerahkan sepenuhnya kepada penyidik KPK dalam rangka menghormati proses hukum dan agar tidak mengganggu jalannya proses penyidikan," ucap Deni.
Selain itu, atas penyidikan itu KPK telah mengirimkan surat permintaan pencegahan ke luar negeri untuk 4 tersangka itu ke Direktorat Jenderal Imigrasi. Selain itu, permintaan serupa ditujukan untuk Steven Angga Prana, karyawan PT DRU dalam kapasitas sebagai saksi.
"Mereka dilarang ke luar negeri selama 6 bulan ke depan terhitung sejak 7 Mei 2019," kata Saut.
Detik.com
0 Comments