KPK OTT Pejabat Imigrasi Pejabat Imigrasi Kelas I Mataram, Nusa Tenggara Barat


Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Zulkieflimansyah mengucapkan terima kasih kepada KPK karena Operasi tangkap Tangan (OTT) sejumlah pejabat Kantor Imigrasi Kelas I Mataram.

Zulkiefli berharap penangkapan itu memberikan efek jera kepada pejabat di wilayah NTB.

"Kami berterima kasih, semoga hal-hal yang tidak kita inginkan tidak terjadi di Pemprov NTB," kata Zulkieflimansyah, Rabu (29/5) seperti dilansir dari Antara.

Zulkieflimansyah mengaku terkejut dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Padahal, kata dia, sehari-hari ada tindakan pencegahan di NTB.

Zul juga mengingat pesan pimpinan KPK Basaria Panjaitan yang tidak ingin ada OTT di NTB. Namun, ternyata ada OTT oleh KPK di NTB.

"Dulu Ibu Basaria pernah tinggal lama di NTB karena bertugas. Ternyata ada OTT," kata Zul.

Menurut Zul penangkapan pejabat imigrasi itu dikhawatirkan akan berdampak terhadap wisatawan mancanegara.

"Daerah wisatawan itu butuh kepastian hukum. Karenanya, semoga ada efek jera juga bagi pemain yang ada," katanya.

Sementara, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menghormati proses hukum yang dilakukan oleh KPK terhadap dua pejabat Kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB).

"Kami tentu menghormati penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK, kedua tindakan tidak terpuji seperti ini sudah beberapa kali terjadi dan itu kami akui," kata Irjen Kementerian Hukum dan HAM Jhoni Ginting.

Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram Kurniadie (KUR) dan Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin (YRI) ditangkap KPK karena menerima uang Rp1,2 miliar dari Direkur PT Wisata Bahagia atau pengelola Wyndham Sundancer Lombok Liliana Hidayat.

Kasus ini bermula ketika Penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua Warga Negara Asing berinisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal.

"Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa tetapi ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga dua WNA ini melanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian," ungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Merespons penangkapan tersebut, kata Alex, Liliana diduga mencoba bernegosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Klas I Mataram agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut.

"Kantor Imigrasi Klas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan untuk dua WNA tersebut tanggal 22 Mei 2019. YRI kemudian menghubungi LIL untuk mengambil SPDP tersebut," kata Alex.

Permintaan pengambilan SPDP itu diduga sebagai kode untuk menaikkan harga untuk menghentikan kasus.

"LIL kemudian menawarkan uang sebesar Rp300 juta untuk menghentikan kasus tarsebut, namun YRI menolak karena jumlahnya sedikit," katanya.

Kemudian, komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut YRI berkoordinasi dengan atasannya KUR. 

Akhirnya disepakati jummlah uang untuk mengurus perkara dua WNA tersebut adalah Rp1,2 miliar.

CNNIndonesia

Post a Comment

0 Comments